Saya iri dengan anak-anak remaja masa kini? Kenapa? Karena mereka sangat melek teknologi dan teknologi memberi mereka kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Saya, yang dilahirkan akhir tahun 80-an, semasa remaja hanyalah mampu berangan-angan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingat, semasa SMA, gawai yang saya dan teman-teman miliki hanyalah handphone dengan fitur paling canggih polyphonic dan kamera 2mp yang buram.
Punya mimpi di jaman saya dulu berat. Jangankan ngomongin modal uang, informasi tentang bagaimana mewujudkan mimpi saja tak tersedia. Semasa remaja, saya ingin sekali menjadi kolumnis di majalah remaja. Pasti menyenangkan sekali punya rubrik pribadi yang terbit tiap bulan di majalah remaja. Pada masa itu, kolumnis idola saya yaitu Mbak Chandra Widanarko. Saya ngefans karena tulisan beliau yang bagus, runtut, menyenangkan, dan sesuai dengan problematika remaja pada masa itu. Sayangnya, pada masa itu, saya tidak bisa mengakses riwayat hidup Mbak Chandra Widanarko, sehingga saya pun tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menjadi kolumnis. Bahkan, saya juga tidak tahu harus kuliah jurusan apa jika ingin menjadi kolumnis. Ketiadaan informasi membuat saya pada masa itu menyerah untuk mewujudkan mimpi saya. Saya hanya menulis di buku yang hanya dibaca oleh teman-teman saya, tidak mampu menjangkau pembaca yang lebih luas.
Beberapa tulisan saya yang hanya bisa dibaca oleh teman-teman dekat.
Sekitar setahun yang lalu, saya mengetahui bahwa Evita Nuh yang masih berumur belasan tahun telah menjadi kolumnis sebuah majalah remaja yang cukup terkenal. Jujur, saya iri sekali. Pada saat seumur dia, saya masih bermimpi untuk menjadi kolumnis dan bingung bagaimana mewujudkannya, sedangkan dia telah menjadi kolumnis betulan. Dia benar-benar telah menjadi kolumnis majalah remaja. Sebuah angan-angan yang saya impikan dulu.
Penasaran, saya pun mencari riwayat hidup Evita Nuh. Rupanya, Evita Nuh telah memulai karir sebagai fashion blogger pada usia 9 tahun. Evita Nuh telah rajin menulis sejak kecil dan tulisannya pun bagus. Gaya fashion dia pun menarik untuk anak seusianya. Bahkan sekarang, Evita Nuh telah memiliki perusahaan fashion sendiri selain masih sibuk menjadi kolumnis majalah.
Saya sempat iri dan sakit hati membaca biografi Evita Nuh. Saya sangat berharap bisa dilahirkan 10 tahun lebih muda, sehingga saya akan lebih cepat mewujudkan mimpi saya. Remaja jaman sekarang, yang tumbuh bersama internet, cenderung lebih mampu menangkap peluang dan kesempatan yang tidak ada di jaman saya. Jika dulu saya masih bingung bagaimana cara menjadi kolumnis, remaja jaman sekarang sudah ada yang berprofesi sebagai kolumnis. Dulu, ada teman saya yang ingin menjadi model, namun karena tinggal di kota kecil, kesempatan untuk turut serta dalam kontes modelling nyaris tidak ada. Sekarang, melalui Instagram atau menjadi fashion blogger, semua orang berkesempatan menjadi model untuk dilirik brand-brand fashion ternama untuk mempromosikan koleksi mereka. Seorang teman yang ingin menjadi wiraswasta, terpaksa harus memendam mimpinya karena ketiadaan modal, sekarang, melalui internet, promosi menjadi lebih mudah. Selain itu, teman saya tidak memerlukan modal besar karena barang hanya diproduksi jika ada pesanan. Semuanya berkat teknologi informasi.
Sekarang, saya masih belum menyerah dengan mimpi saya, kok Iya, saya mungkin kalah cepat dengan Evita Nuh. Saya sudah tua. Tapi selalu ada kesempatan untuk memulai, bukan? Akhirnya, saya pun memanfaatkan teknologi informasi yang semakin pesat. Saya membiasakan menulis blog. Untuk sementara, saya anggap saja blog saya ini kolom yang harus saya tulis di majalah. Saya bahkan mengelola beberapa blog dengan tema-tema yang berbeda. Rasanya bahagia sekali jika bertemu orang baru dan mereka berkata,"Aku sudah baca blogmu. Tulisanmu bagus.". Bahagia sekali bisa dikenal orang dari tulisan saya. Teknologi informasi lah yang memungkinkan orang yang tidak saya kenal, yang berada di lokasi geografis yang berbeda, mampu mengakses dan membaca tulisan saya.
Saya berharap dengan meningkatnya teknologi informasi, saya mampu memanfaatkannya dengan baik untuk mewujudkan mimpi saya. Saya harus bisa berlari mengejar ketertinggalan saya, bukan? Melalui blog, saya dapat terus menulis. Saya pun mampu mengenalkan tulisan saya kepada khalayak yang lebih luas. Meskipun terlambat, berkat teknologi informasi, saya masih bersemangat untuk meraih mimpi saya menjadi kolumnis.