“Akhirnya
aku berani menghapus bapak itu dari jaringan pertemananku di Facebook.”
Kalimat itu sempat saya ucapkan
beberapa waktu lalu kepada diri sendiri. Bapak yang saya maksud itu ialah dosen
saya yang bertitel profesor. Secara keilmuan, saya kagum pada beliau, namun saya terganggu
dengan hampir semua pos beliau di situs media sosial Facebook. Hampir semua isi postingan beliau mengarah pada tindakan
intoleransi, seperti jangan memilih pemimpin yang tidak seagama, dukungan untuk
kelompok anarkis yang seiman, atau cap sesat untuk kelompok yang walau seiman
namun dianggap out-group karena
beberapa perbedaan, misalnya Jamaah Ahmadiyah atau Kelompok Islam Liberal.
Awalnya, saya pikir hanya saya yang
terganggu dengan postingan beliau karena melihat beliau mendapat banyak sekali
pendukung di dunia maya. Saya sempat mempertanyakan apakah pendapat saya yang
salah dan beliau yang benar. Namun, saya bersikukuh dengan pendapat saya, saya
memperbanyak bacaan, bukan hanya dari satu sumber, namun dari berbagai sumber,
baik yang pro maupun yang kontra. Akhirnya, saya memutuskan untuk menghapus
beliau dari jaringan pertemanan saya.
Banjirnya Informasi
Adanya internet memungkinkan seseorang
untuk mengakses informasi baru tentang kejadian di belahan bumi yang lain. Peristiwa
pengeboman di Prancis, Belgia, atau Turki bisa diketahui di Indonesia hanya
dalam hitungan menit setelah kejadian. Informasi bisa dinikmati dengan lebih
cepat dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu.
Sayangnya, internet ini pun juga
dimanfaatkan oleh para teroris dan
kelompok intoleran untuk menyebarkan paham mereka, merekrut anggota, sampai
dengan mempublikasikan kegiatan mereka. Banyak video ajakan bagi umat muslim
untuk bergabung menjadi anggota ISIS. Banyak pula video sadis yang menyajikan
bagaimana sadisnya hukuman ISIS untuk para tawanan, pengkhianat, dan orang yang
tidak sejalan dengan mereka. Di Indonesia sendiri, ada beberapa blog pribadi
maupun website berita komunitas yang berisi artikel-artikel yang mengarah pada
tindakan intoleransi agama. Artikel dari laman-laman inilah yang sering dikutip
atau dijadikan acuan untuk bertindak intoleran di Indonesia.
Sisi baik internet dan media sosial,
pihak yang kontra gerakan intoleran pun bisa melakukan pembelaan dan
menyampaikan pendapat mereka. Salah satu media sosial yang memfasilitasi orang
untuk menjawab atau membalas pernyataan orang ini yaitu Twitter, sehingga
munculah istilah twitwar atau perang
argumen di Twitter. Agama merupakan salah satu tema populer twitwar. Twitwar ini mampu memfasilitasi
para followers untuk membaca dan
mempertimbangkan manakah pendapat yang lebih baik diantara dua orang yang
sedang berperang argumen tersebut. Sayangnya, fitur ini tidak dimiliki Facebook. Komentar di Facebook cenderung akan senada dengan
status yang ditulis oleh si pemilik akun. Mungkin juga si pemilik akun hanya
berteman dengan orang-orang yang memiliki pandangan sejenis. Orang dengan
pandangan yang lain, bisa jadi sebagian besar seperti saya, gerah dan akhirnya
memutuskan untuk menghapus pertemanan dengan akun tersebut.
Dari media sosial, banyak pula informasi
faktual yang dapat dijadikan landasan berfikir. Banyak memang tindakan brutal
intoleran yang dilakukan oleh ISIS. Banyak juga figur populer di Indonesia yang
mengajak untuk melakukan tindakan intoleran, seperti anjuran untuk mengusir kelompok
Ahmadiyah, sampai pemberian cap sesat. Namun, berkat media sosial pula, kita
tahu banyak informasi perbuatan toleran yang terjadi di Indonesia atau dunia,
seperti tindakan Wali Kota London yang beragama Islam, Sadiq Khan, yang berbuka
puasa di gereja, relawan gereja di Mesir yang menyiapkan buka puasa untuk umat
muslim, dan banyaknya dukungan masyarakat Indonesia untuk Ibu Saeni, ibu pemilik
warung yang buka siang hari di Bulan Ramadhan.
Prasangka dan Ultimate Attribution Error
Allport, salah satu tokoh Psikologi
menyebutkan prasangka sebagai thinking
ill of others. Prasangka merupakan sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki
oleh anggota kelompok, terhadap anggota kelompok yang lain. Sumber utama prasangka
yaitu perbedaan kelompok. Prasangka ini tidak terbentuk sendiri, namun bisa
jadi muncul misalnya karena kelompok mayoritas yang kalah dengan kelompok minoritas
dalam sektor-sektor vital.
Prasangka ini terbentuk dalam diri
orang baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu
mengalami konflik atau persaingan langsung dengan objek prasangka, misalnya
persaingan ekonomi atau politik. Orang yang berbeda agama dianggap lebih makmur
secara ekonomi dan memiliki kekuasaan politis yang lebih besar. Secara tidak
langsung yaitu pembentukan prasangka berdasarkan informasi dari individu lain dalam
kelompok yang bertindak sebagai pembentuk sikap atau media massa. Pada
pembentukan prasangka tidak langsung inilah peran media sosial menjadi penting.
Akun tokoh populer yang menyebarkan semangat intoleran biasanya memiliki banyak
teman dan pengikut dan menjadikan akun tersebut sebagai sumber informasi.
Salah satu teori mengenai prasangka
yaitu social categorization. Dalam
teori ini, prasangka merupakan kecenderungan untuk membedakan kelompok in-group (kita) dan out-group (mereka). Prasangka kelompok ini sangat berbahaya karena
mendorong terbentuknya kecenderungan ultimate
attribution error, yaitu tendensi untuk membuat atribusi yang menyenangkan
kelompoknya sendiri, misalnya kelompok teroris cenderung menganggap diri dan
kelompoknya berjuang di jalan agama. Jika kegiatan mereka sukses, mereka akan
menganggap tindakan mereka diridhoi oleh Tuhan.
Penutup
Tampaknya tidak berlebihan jika
media sosial dipandang sebagai pedang bermata dua. Pasalnya, media sosial dapat
menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat terutama dalam hal keragaman
beragama. Masyarakat awam dapat belajar mengenai toleransi Islam di Mesir
maupun London. Di sisi lain, media sosial juga menjadi alat bagi kelompok
intoleran untuk menyebarkan paham mereka dan merekrut anggota.
Keberadaan media sosial sebaiknya
disikapi dengan dewasa. Pemerintah dapat memblokir situs-situs yang mengandung
konten berbahaya. Kita, sebagai masyarakat, dapat melaporkan akun pribadi
penyebar paham intoleran untuk diblokir baik oleh Twitter maupun Facebook. Jika kita memiliki
pengetahuan, kita dapat pula membantah pernyataan intoleran dari akun tersebut.
Sebagai masyarakat awam, sebaiknya juga mencari informasi dari sumber yang bisa
dipercaya. Jika merasa ragu, sebaiknya mencari guru yang bisa dipercaya dan
benar-benar memilki ilmu dan pengetahuan terkait hal tersebut.
Memang, terlalu muluk jika berharap
media sosial dapat menegubah kelompk intoleran menjadi lebih toleran dan
humanis. Anggota kelompok intoleran membutuhkan intervensi tertentu untuk bisa
berubah. Namun mdia sosial dengan konten penuh toleransi sangat penting
terutama untuk orang-orang yang ragu atau belum memutuskan kelompok manakah
yang dipilih, kelompok toleran atau intoleran.
Pada akhirnya, media sosial
dimanfaatkan potensi dan keuntungannya. Untuk dampak negatifnya, sebaiknya
diwaspadai dan dicegah aga tindakan intoleran yang mengatasnamakan agama tidak
meluas. Media sosial hanyalah alat. Dia akan menjadi baik pada tangan yang
baik. Dia dapat menjadi buruk pada tangan yang buruk. Mari kita bersama-sama
mencegah dampak buruk media sosial yang berada pada tangan yang buruk.